Satu kesempatan Saya ngobrol dengan seorang pelaku usaha di bidang makanan. Beliau membuka sebuah kafe ala ala hidden gem di Kota Wisata Batu. Tempatnya bener-bener nyelempit, sembunyi diantara jalur dalam perkampungan. Memang, mobil bisa masuk dan papasan, namun jika tidak benar-benar yakin dengan lokasi yang dituju, kemungkinan besar akan ragu-ragu.
Di tahap awal, Saya bertanya, apa keunggulan dari kafe yang dibuka? Tentu saja jawaban yang keluar adalah : makanannya enak. Sekilas tidak masalah dan tidak ada yang salah dari jawaban yang diberikan, kemudian dari situlah diskusi dimulai, bahwa makanan yang enak, bukanlah nilai tambah yang dapat ditawarkan. Makanan yang enak, bagi sebuah usaha di bidang F&B adalah sebuah nilai dasar yang perlu dipastikan sedari awal.
\”Kalau makanannya tidak enak, mending enggak usah jual makanan.\”
Karena yang bikin usaha kuliner nggak cuman survive namun sustain, adalah repeat customer, yakni para pelanggan yang beli lagi dan beli terus.
Terdengar sepele tapi dampaknya gede, bahwa di usaha apapun, pastikan nilai dasar dari usaha tersebut sudah ditentukan dan dipastikan beres.
- Kalau kuliner -> makanannya enak
- Kalau toko -> barang lengkap dan murah
- Kalau konsultan -> punya metodologi
Karena nilai dasar ini adalah basic promise, janji dasar yang perlu dikawal sedari awal. Kalau meleset, walhasil usahanya akan jalan hit and run. Ada pembeli tapi ya kudu nyari pembeli baru terus dan terus, karena pembeli yang sudah pernah merasakan, kapok dan ogah diajak kembali beli.
Kondisi ini diperparah dengan trend perilaku FOMO, alias fear of missing out, perilaku ikut ikutan, yang lagi hype, trending dan viral, nggak mau ketinggalan. Ada Saya temui, sebuah brand makanan, yang belum terlalu kuat basis produknya sebagai dasar di jenis makanan tersebut, namun terburu-buru digoreng animo dan popularitasnya, menggandeng selebgram digass publikasinya, dapat banyak perhatian, rame suasananya, tapi malah jadi malapetaka. Kok bisa? Karena saat diberi aliran serbuan pengunjung, lemah stoknya, masih amburadul preparenya, masih belum konsisten produknya, masih kikuk pelayanannya, dan kurang memadai tempatnya.
Maunya viral karena prestasi, eh malah jadinya bonyok kena serangan massa yang kecewa.
Fenomena viral, trending, hype, itu ibarat pisau bermata dua, karena seperti sebuah proses yang harusnya organik dengan bermetamorfosa, dipaksa dan dipacu lebih awal, lebih cepat, segera jadi segera terkenal.
Percayalah, jika tahu kalkulasi antara tumbuh organik dengan tumbuh menukik karena digas popularitas, kalau tujuannya adalah sustainability dan continuity, maka tumbuh organik akan lebih menggairahkan. Meski kalau terlalu lamban, ya kasian juga, akan disambar dan digilas pemain dengan kapital besar yang selalu pantau pandang peluang.
Beresin dulu nilai dasar dari produk, agar aliran pengunjung yang dibawa mendapatkan kepuasan dan terpenuhi harapan, jangan gegabah trendang trending, viral brutal, tapi kemudian jadi beban, karena makin banyak yang datang, makin jeblok rating dan ulasan, maunya dapat pujian, ternyata malah panen komplainan.
Apa cukup dengan mengandalkan nilai dasar? Tentu tidak, nilai tambah akan memberikan keunggulan yang menguntungkan. Bagaimana menemukan dan menentukan nilai tambah?
PT Fortuna iMARKS Trans
Konsultan Marketing
www.instagram.com/imarks.id
www.imarks.co.id