Ini barang apa? Pikir Saya begitu. Mau dibilang steak bukan, mau dibilang bakso kok juga bukan, jadi ini apa?
.
Saya bertemu ownernya di Pesta Wirausaha TDA di Ancol awal 2019, sudah sempat berinteraksi di dunia maya, ketemuan baru terlaksana di Jakarta. Brandnya adalah bakso raket, dengan sebuah alasan sederhana, karena baksonya nggak bulat, tapi gepeng kayak raket. Rasanya? Jangan ditanya, istimewa! Seperti semua produk yang dibuat dengan kesungguhan dan rasa cinta.
.
Pemiliknya, Couplepreneur : Amri Ilham dan Afiani Puspasari yang sangat mencintai produknya, yang dalam pertemuan pertama saja dengan mudah Saya simpulkan : panjenengan berdua CEO ya? Dan mereka berdua tersenyum ☺️
.
CEO yang dibahas disini bukanlah CEO dalam definisi Chief Executive Officer atau yang kalau oyang oyang pintar para mastah itu bahas sebagai “C-Level”, tapi justru vice-versa dari definisi itu, CEO yang dimaksud adalah : Chief Everything Officer, alias kabeh-ditandangi-dewe. Dalam dunia LaperPreneur, fenomena ini jamak dan mudah ditemui. Sering kita temukan para LaperPreneur adalah orang-orang yang berdedikasi dalam produksi, seneng membuat, suka bikin, cinta mengolah dan hobi memasak.
.
Mereka adalah para pejuang tangguh yang memulainya dengan melakukan hampir segala halnya sendirian, all alone, by himself atau by herself, ijenan, dewean. Pola pikir UKM tentu saja, dengan pendekatan OYA alias Optimalkan Yang Ada, yang penting jalan dan menghasilkan.
.
Saya tanya, kenapa nggak nambah crew? Kenapa tidak merekrut pasukan untuk memperkuat pertahanan dan mempertajam serangan? Alasannya pasti sama, dengan tingkat revenue yang dimiliki saat ini, matematikanya belum masuk untuk menambah tim. Sebuah alasan yang tipikal dan mudah dicerna, untuk kemudian diamini.
.
Salah satu cara mudah memahami hal ini adalah menganalogikan dalam sebuah sawah sebagai garapan. UKM biasanya berpikir jutaan kali untuk mengambil resiko (atau mengambil kesempatan) dengan menambah pasukan. Kenapa hal ini terjadi? Karena logika yang digunakan adalah existing revenue. Misal pemasukan saat ini adalah 1000, dengan melibatkan 2 crew, pikiran yang muncul umumnya adalah pemasukan yang tetap 1000, dengan tambahan crew. Tentu kemudian, hadangan yang muncul adalah, kenapa perlu nambah orang, jika pemasukannya di angka 1000? Bukannya malah semakin menambah beban perusahaan?
.
Padahal layalnya menggarap 1 petak sawah sebagai garapan, maka tambahan crew adalah dukungan tenaga untuk menggarap petak ke 2, petak ke 3, dan seterusnya. Bagaimana jika berpikir bahwa tambahan orang dirancang untuk meningkatkan pemasukan dari 1000 menjadi 1500 dan ongkos orang baru yang ditambahkan adalah sebesar 150? Intinya, untuk mengembangkan usaha kita, bukan tidak ada yang mau membantu lho, tapi lebih pada, apakah kita mau dibantu?
.
Ilmunya adalah ilmu sederhana, tapi perlu pertimbangan tingkat dewa, bernama ilmu : “legowo”
.
Apa makna legowo?
Kata legowo (istilah halus: legawa) berasal dari bahasa Jawa yang berarti sikap batin tertentu untuk menerima satu keadaan dengan lapang dada. Apa yang perlu segera dicatat adalah bahwa legowo adalah suatu pilihan: menerima atau menolak, menerima dalam satu cara, atau dengan cara lain yang bertentangan.
.
Legowo atau tidak untuk dibantu? Untuk memberi kepercayaan pada orang lain untuk membantu urusan kita? Dengan segala potensi keberhasilan dan resiko kegagalannya.
.
Hlo, jadi kita perlu memberi mereka rancangan, pengelolaan, pelaksanaan, dan pengendalian? Ya! Tentu saja! Dan kita nggak akan sempat kalau terus menerus larut dalam pusaran aktifitas usaha harian yang nggak ada habisnya. Sudah ketemu lingkaran setannya dimana? Kenapa kok terus menerus muter kayak hamster?
.
Memilih, antara in business, atau on business
.
Menurut Saya itu akan jadi pembeda, mana yang UKM dan bangga dengan statusnya, atau yang StartUp dan nggak mau stagnan untuk pelan pelan terbunuh, tapi memilih untuk agresif bertumbuh.
Faizal Alfa
PT Fortuna iMARKS Trans
Marketing Development Partner