Pokoknya Sam, Kita ini pegang prinsip, bahwa harga nggak boleh naik. Kita jaga harga tetap berada di angka yang sama. Kita akan kerahkan segala upaya, apapun cara yang dapat ditempuh. Wow! Good persistence! Saya nyeletuk nanya : kenapa begitu? Jawabnya : karena kita sedang berada dalam masa kompetisi yang ketat, persaingan sedang berlangsung hebat, setiap perubahan harga, terutama kenaikan harga, akan beresiko.
.
Rasa penasaran Saya tidak berhenti, karena Saya tahu, produk dari klien ini punya pembeda dari produk kompetitornya, ada kelebihan yang memang menjadi titik keunggulan. Saya penasaran, bagaimana caranya menjaga titik keunggulan tetap ada, dengan tetap kekeuh tanpa melakukan penyesuaian dalam bentuk kenaikan harga? Cukup mengejutkan, karena ternyata demi menjaga harga tetap di level yang sama, spesifikasi produk yang mendapat penyesuaian dengan pengurangan.
.
Ketika berbicara dengan menghindari resiko, wow, cukup menarik karena resiko yang dipilih ternyata resiko yang lebih besar. Menghindari kenaikan harga dengan memilih untuk menghilangkan nilai tambah dan melakukan trik pada konsumen, menurut Saya justru memicu dampak yang lebih besar dalam jangka menengah dan jangka panjang.
.
Harga adalah asumsi dan persepsi, yang diutak atik dalam valuasi. Berapa sih harga yang pas? Yap! Kata : pas, menjadi kata yang mewakili. Harga terlalu tinggi tentu bikin konsumen sakit hati dan darah tinggi. Harga terlalu rendah tentu bikin produsen lelah dan berdarah-darah. Berapa harga yang pas?
.
Sebagai konsultan pemasaran, yang berkepentingan dan berkewajiban mengawal pertumbuhan dari bisnis klien, iMARKS menurunkan tim special treatment untuk kasus ini. Keseluruhan unsur 3C dibedah dan diolah, mulai dari Customer, Competitor, dan Company, untuk menemukan : pas nya ada dimana. Hasil, laporan, analisis, dan rekomendasi yang dihasilkan, akan dibahas di tulisan lain sebagai bagian dari studi kasus.
.
Harga di sisi konsumen, biaya di sisi produsen. Sempat kita bahas sebelumnya aneka mitos mengenai harga kan? Harga ditentukan berdasarkan feeling, harga yang ditetapkan sekedar karena kompetitor menjualnya dengan harga segitu, harga yang kekeuh di nominal sekian karena takut tidak ada yang beli jika dipatok terlalu tinggi.
.
Prinsipnya, kalau di dunia #markEATing para pebisnis kuliner mendorong para LaperPreneur untuk paham HPP terlebih dahulu. Berapa sih besaran raw material nya? Berapa food-cost nya? Sehingga tahu mentahannya dulu. Dari situ, kita dapat tentukan berapa gross profit yang mau kita tentukan. Pakar Bisnis Restoran Dicky Sumarsono dalam buku Bisnis Restoran di Indonesia merekomendasikan bahwa HPP berada di kisaran 35% sampai 45% agar menyisakan ruang yang lega dan nyaman untuk gross profit. Lelah lho kalau terus menerus kena pasal : anggaran pemasaran kita cuman segitu, sehingga ruang gerak jadi kurang semarak. Pssst, anggaran pemasaran cuman segitu, bukanlah sebuah variabel eksternal yang tidak dikenal, aslinya itu justru : anggaran pemasarannya tidak pernah dialokasikan, tidak masuk struktur biaya yang dikalkulasi dalam elemen pengurang gross profit. Pantesan anggaran pemasarannya nggak pernah ada, pantesan gak pernah kebagian, karena literally tidak pernah dianggarkan. Dalam kondisi begitu, pasti dapat diduga akan merasa berat rundingan sama konsultan pemasaran. Bukan karena tidak mampu ongkosnya, namun cuman belum faham cara penganggarannya. Semacam mau menangkap kakap, tapi nggak tau beli umpannya pakai ongkos mana? 😘
.
Naikin harga menjadi pemicu konsumen kabur entah kemana? Mungkin laporan dari hasil interview antara tim konsultan iMARKS ini bisa jadi referensi. Jadi ceritanya atas request dari klien, kami melakukan interview dengan data konsumen yang tersedia. Salah satu pertanyaannya sederhana, terkait dengan produk dan harga, kurang lebih pertanyaannya begini :
.
Terkait Produk dan Harga (nama-brand), mana opsi yang lebih anda pilih :
A. Harga tetap, dengan kualitas produk diturunkan
B. Kualitas produk tetap, dengan harga dinaikkan
.
Kira-kira pilihan mana yang jadi juara? Asumsinya penjual akan grogi untuk menaikkan harga, mending harga tetap, spek produk sedikit disulap sim salabim dan berdoa semoga konsumen tidak menyadarinya, bum! Buang jauh pikiran itu, karena hasil interview menyajikan hasil yang bertolak belakang. Ternyata 85% konsumen memilih jaga spek produk, dan mereka tidak masalah jika memang harga perlu penyesuaian berupa kenaikan. Karena konsumen membeli produk kita, mampu membedakan produk kita dengan kompetitor, karena nilai tambah yang tersemat di produk kita. Dalam bahasa lain, jika nilai tambahnya dihilangkan, maka, konsumen akan kehilangan alasan kenapa perlu memilih produk kita.
.
So, its not about the price saja, namun lebih kepada value, yang merupakan penambahan akumulatif dari : functional benefit + emotional benefit + spiritual benefit dari produk kita, dibagi dengan harga.
.
Percayalah, harga ngawur akan bikin hancur, karena afterall, rapornya bisnis adalah kinerja yang diukur dalam jajaran angka.
.
Salam Pertumbuhan!
Faizal Alfa
PT Fortuna iMARKS Trans
Marketing Development Partner