Pahami Repetisi Tervalidasi
.
Siang itu Saya janjian ketemuan dengan owner Ayam Goreng Nelongso, Haji Nanang di pelataran Ka\’bah. Kami janjian untuk ketemuan di bawah area \”lampu hijau\” untuk sholat dzuhur di Masjidil Haram siang itu. Waktu sholat masih cukup lama, jadi ada waktu untuk bincang kangen, karena meski sama-sama tinggal di Kota Malang, alhamdulillah ini malah ketemuannya di tanah suci. Haji Nanang nyeletuk bahwa ibadah haji dan umroh ini adalah ibadah yang sarat dengan strategi. Bagaimana tidak, ada strategi untuk bisa berdoa di Hijir Ismail, strategi untuk mencium hajar aswad, strategi untuk mendapat shof sholat di depan multazam, strategi sai di ground floor, first floor, atau second floor, atau sekedar strategi agar lokasi strategis kita tidak diserobot selonong oleh jamaah lain yang sama-sama mencari keutamaan. Bahkan ibadah pun perlu strategi.
.
Aaah, mengelola bisnis apalagi, sama juga kan, perlu strategi terutama dalam kondisi kompetisi. Marketing tentu saja menjadi divisi yang tak lepas dari tuntutan ini. Aneka strategi perlu dijajaki hingga kita menemukan pola yang efektif dan efisien sesuai dengan bidang industri dan target segmen yang kita layani. Kata kuncinya : temukan pola, untuk diterapkan 2L, yakni Lakukan dan Lanjutkan. Pola ini menjadi sangat penting, sehingga terjadi pergeseran dari strategi yang sporadis menjadi sistematis, dari seingatnya menjadi terencana. Pola ini akan memiliki peran signifikan, terutama ketika kita beroperasi dalam banyak titik cabang atau outlet. Pola dasar perlu dikunci, namun tetap memberi ruang-ruang modifikasi.
.
Asumsi
Apapun yang ada di dalam benak dan pikiran kita, disebut dengan asumsi. Ingat, sifat dari asumsi adalah : bisa benar dan bisa salah. Asumsi asumsi ini dimunculkan dalam brainstorming dengan tim. Ada ide apa, dari pengalaman apa, atau dari penalaran apa. Misalnya : kita mau mencapai ini, maka, yang bisa kita lakukan, kayaknya ini. Asumsi! Setiap diskusi di tahap ini pada prinsipnya adalah uji antara satu asumsi dengan asumsi yang lain. Tips mahalnya, jangan berdiskusi dalam mode satu asumsi diadu untuk menang kalah dengan asumsi lain, karena jadinya akan berantem. Gunakan pendekatan korelasi, kaitkan dengan tujuan, asumsi mana yang paling memungkinkan mencapai tujuan dengan sumberdaya yang ada dan resiko terkecil. Hasilnya? Sebuah sequence atau urutan! Asumsi mana yang diuji lebih dulu, yang kalau gagal, ada stok asumsi berikutnya untuk diuji. Kita seperti punya stok amunisi asumsi.
.
Validasi
Asumsi hanya akan menjadi asumsi, hingga dilakukan sebuah proses pembuktian, yang disebut : validasi. Proses ini adalah proses pengujian asumsi dengan dieksekusi dalam dosis terkecil. Bahasa kerennya, MVP to MVC, alias mengujikan Minimum Viable Product pada Minimum Viable Customer. Sederhananya, kalau punya ide, ujikan dulu di laboratorium, dalam lingkungan terkontrol dan resiko terkelola. Contoh ; kalau mau uji menu baru, jangan langsung di launching. Undang dulu 20 atau 30 konsumen, untuk mencicip, memberikan feedback, bahkan mengkritisi produk yang akan di launching. Jadi mau gagal atau mau berhasil, dapat dideteksi lebih dini, dalam dosis yang kecil. Kelola resiko, bayangkan, udah kadung launching menu baru, dengan serampangan, langsung install di 30 outlet, dan ternyata hasilnya zonk, tentu sakitnya 30 kali lipat kan? Lakukan validasi!
.
Realita
Dari validasi, kita akan menemukan respon dari konsumen, yang kemudian kita sebut sebagai : realita atau kenyataannya. Nah, jangan ke pede an ya. Realita jalannya ada dua. Jalan kanan dan jalan kiri. Jalan kanan artinya asumsinya tervalidasi, sesuai antara asumsi dan realita. Kondisi : GO! Disambung tindakan lanjutan? Lakukan scale up atau pelipatgandaan dosis atas apa yang dilakukan dan tervalidasi, amplify! Bagaimana jika asumsi dan realita gak sama? Kondisi : NO! Maka lakukan pivot alias putar haluan, balik ke asumsi, munculkan atau gunakan asumsi baru, untuk dilanjut ke tahap validasi. Sampai kapan? Ya sampai ketemu yang GO. Bisa mudah bisa susah, gak langsung ketemu. Jaga semangat! Ketemu pola, maka peluang dalam kompetisi, jadi juara! Analoginya, Kenapa ibadah berat? Karena hadiahnya surga, kalau ringan, hadiahnya palingan kipas angin atau mug. 😘
.
Go!
Kondisi go, adalah kondisi yang dicari. Saat asumsi dan realita masuk, cocok, selaras! Happy kan? Tapi jangan lengah, polakan faktor-faktornya. Istilah kerennya : CSF alias Critical Success Factors. Faktor faktor sukses apa yang mendukung asumsi tadi nyambung cocok dengan kenyataan, agar dapat diulangi dengan hasil yang identik, dan dapat digedein dosisnya untuk dampak yang lebih signifikan atau medan pengaruh yang lebih luas.
.
No!
Kondisi no, uh, nyesek! Ternyata konsep yang indah hasilnya bikin lhadalah. Jangan kecil hati, paling tidak Kita \”menemukan cara yang salah untuk\”. Thomas Alva Edison aja perlu berapa kali eksperimen sampai menemukan bohlam? Memang, Kita dibatasi dengan sumber daya yang terbatas untuk melakukan validasi demi validasi, makanya lakukan pembelajaran dari setiap proses validasi. Kalau di Go! Ada CSF, di No! Ada CFF alias Critical Failure Factors, apa faktor-faktor yang lemah dalam persiapan maupun pelaksanaan, sehingga asumsinya gagal terbukti. Langkah lanjutan? Lakukan pivot atau putar balik, pertajam asumsi, dan lakukan validasi berikutnya. Tak mudah memang, tapi sepadan!
.
Parameter
Adanya menentukan apakah asumsinya Go! Atau No! Tentu perlu parameter yang jelas. Di dalam pembahasan mengenai marketing, ada 3 aspek yang saling berpotongan : Branding, Marketing, Selling. Beda tujuan beda ukuran ya. Branding untuk diingat, Kita pahami gampang aja, parameternya, nambah keren gak? Marketing untuk dikenal, Kita pahami gampang aja, parameternya, nambah data prospek gak? Selling untuk dibeli, Kita pahami gampang aja, parameternya, nambah angka penjualan gak? Jadi gak melulu omzet ya parameternya, agar nggak dangkal pemahaman Kita.
.
Bosan
Kalau sudah ketemu yang Go! Beberapa menyebutnya sebagai \”winning-campaign\”, sebuah kondisi yang menyenangkan dan menenangkan. Kita seperti udah punya tombol dan kontrol pada \”perilaku\” konsumen kita. Asal disentuh pakai cara tertentu, maka konsumen akan bertindak sesuai perkiraan, dan berkontribuso i pada revenue perusahaan sebesar sekian. Nyaman kan? Udah punya jurus udah punya rumus. Godaannya? Biasanya muncul celetukan dari internal : \”Nggak bosan kah, kita promonya begitu terus, sudah berapa lama diterapkan, nggak pengen ada perubahan begitu?\” Jangan terkecoh, selama program yang dibuat masih memberikan pencapaian sesuai yang ditargetkan, udah jangan diubah ubah. Kita nyari pola rumus dan jurus jitu, giliran udah ketemu kok malah disuruh ganti. Aneh!