Pahami Pertumbuhan
.
Tahu nggak salahnya dimana?
Tiba-tiba Saya ditanya begitu sama mentor Saya. Duh, apalagi ini, karena, aturan sama mentor, nanya itu kadang-kadang nge test. Jawaban bener nggak dipuji, jawaban salah, alamat kena bully, duhkah mentor kesayanganku. Saya jawab aja, nggak ada yang salah, karena yang salah sana dihukum masuk penjara. Ternyata yang dimaksud adalah kesalahan dasar pebisnis, yang banyak ditemui adalah product oriented, alias fanatiknya pada produk, padahal, yang terbukti mampu bertumbuh secara meyakinkan adalah yang : market oriented. Indikatornya, kalau orientasi produk, maka pendekatannya egosentris, produk yang enak, produk yang beda, bahan bakunya ngana, prosesnya nganu, nggak bahas ntar yang beli siapa. Kalau yang market oriented, 180 derajat dia balik. Siapa yang disasar, permasalahan dan kebutuhannya apa, baru kemudian bagaimana produk yang kita hasilkan ini memenuhi atau menjadi solusi. Nggak maksa untuk jadi the best atau the most, tapi mempertajam untuk jadi yang : fit in, yang pas dengan marketnya. Upaya seriusnya, adalah nyari, market yang memenuhi dua kriteria utama : jumlahnya besar, dan angkanya bertumbuh.
.
Kita mau buka cabang atau enggak, life goes on! Hidup tetap berjalan, dengan market yang terus makan, market yang terus membeli pemenuhan kebutuhan dan solusi atas masalah-masalahnya, tapi beli dan dilayani oleh orang lain. Bukan masalah personal, hanya masalah faktual. Percuma kita bicara bla bla bla mengenai produk kita saat market tidak bisa mengaksesnya. Dalam lingkup kuliner, pengen tapi nggak bisa beli, karena nggak ada di sekitar sini. Karena nggak ada, nggak mungkin dong lalu nggak makan? Naluri survivalnya yang jalan, nyari opsi dan alternatif, jelas rejeki buat kompetitor karena ketidakmampuan kita menjangkau, menyediakan ujung getar distribusi yang dapat dinikmati oleh segmen market yang kita sasar.
.
Teruslah jadi UKM, yang mengeluhkan keterbatasan, yang minta ditoleransi atas dasar aneka inkompetensi, sementara satu demi satu pada mentas dan naik kelas. Memang mayoritas awalnya dari UKM, dengan segala kesederhanaan pikir dan tindakannya, tapi jaman sekarang, hampir segala hal ada ilmunya, bertebaran tutorialnya, bejibun seminar dan workshopnya, diikuti semua, sampai terlena dan lupa, gak sempat mempraktekkannya. Jadilah startup yang lincah melangkah dan sungguh sungguh bertumbuh. Memahami fakta bahwa bisnis itu laksana tahapan tahapan sekolah saja sebenarnya. Ada SD, SMP, SMA, dan kuliah. Jangan betah-betah di SD, cukup 6 tahun saja, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, lalu kuliah sesuai jenjangnya. Nggak mungkin kan gara-gara takut masuk SMP, maka memilih bertahan di jenjang SD melulu, sampai menua dan melemah? Ada? Sudsh berapa tahun bisnisnya jalan? Masih betah di SD?
.
Mengawal operasional, sementara membangun kapasitas manajerial. Itu petunjuk awalnya. Melakukan semuanya sendiri, itu pondasi, membangun tim dengan pendekatan delegasi, itu mematangkan bekal. Di jajaran usahanya sekarang, rata-rata sudah punya tim operasional. Kalau di kuliner, sudah punya tukang masak, ada waiter, ada kasir, ada bagian office boy, lengkap. Kemudian ditanya, yang mikir pertumbuhan cabang baru siapa? Yang merancang program pemasaran dan mengawalnya siapa? Yang ngurus pajak siapa? Yang mengelola SDM siapa? Ujung-ujungnya, owner lagi owner lagi, itupun juga masih direcoki token listrik, sewa tempat yang waktunya memperpanjang, dan iuran kebersihan yang perlu dibayar minggu depan, duh. Buru buru punya tim Head Office atau HO ya, lha cabang juga baru 2 outlet, itupun yang satunya, omzetnya ngos ngos an, kalah jauh sama outlet pusat.
.
Masih sering naik sepeda? Pasti kenal dengan istilah pedal kan? Kita bisa buat analogi dari bagian sepeda yang ini. Di tahap awal, sudah, perhatikan saja dulu 3 hal, yakni : Marketing – Operasional – Finansial. Marketing layaknya pedal kanan, yang dikayuh duluan kalau kita mau berangkat, karena di Indonesia, kita naik dari bagian kiri sepeda kan? Kalau pedal kanan dikayuh, maka pedal kiri akan terdampak. Pedal kiri adalah operasional, maksudnya adalah, ketika marketing di gass, maka operasional akan terdampak oleh serbuan perilaku pembelian, bayangkan kalau nggak siap, niatnya bikin viral, jatuhnya malah dibully karena produk dan layanan yang malah bikin kesal. Penghubung pedal kanan dan kiri, ada as yang kuat, nah, ini ibaratnya adalah finansial. Dia perlu kuat, dan adil membagi, antara pedal kanan dan pedal kiri, tahu tujuannya kan?
.
Road To Six
Tumbuh di kuliner, kita sebut saja road to six, langkah menuju 6 outlet. Sudah buka 1 outlet, langsung rancang buka outlet ke 2. Caranya? Cek bagian buku ini yang membahas mengenai pertumbuhan horizontal. Menuju 6 cabang ini, perlu dicapai dalam periode estimasi 1 tahun alias 12 bulan. Artinya apa? Ya mau nggak mau, buka cabang baru setiap 2 bulan sekali. Wiih, ngerih! Enggak juga, biasa aja kok. Djajan Seafood di Tangerang membuktikannya, SayapGrak di Kota Malang melakukannya, Martabak Djoeragan di Medan mewujudkannya. Ada yang protes, nggak memungkinkan itu dilakukan! Cek aja bagian buku S3 Marketing ini yang membahas model bisnis, insyaAllah akan paham mana yang bisa mana yang tidak. Road to six, fokuskan di 1 kota, atau paling tidak kota yang berdekatan.
.
Road To Twenty
Setelah setahun mencapai 6 cabang, maka, langkah berikutnya adalah meniti jalan ke 20 cabang dalam waktu 3 tahun. Berbicara 20 cabang ini, pola pikirnya paling tidak sudah mencakup 1 propinsi. Di Indonesia raya, misalnya di Jawa Timur saja, ada 38 Kota dan Kabupaten. Jadi mencakup 20 kota maksudnya? Tidak juga, road to 20, paling mencakup hanya 5 sampai 6 kota. Hlo, kok bisa? Hla kalau 1 kota ditanam 4 outlet? Kelar di 5 kota. Ingat, isu besarnya nanti di supply chain dan span of control, agar ketemu titik efektifitas dan efisiensi yang optimal. Milih kota yang mana? Yang cocok segmen marketnya.
.
Road To Hundred
Kelar main di propinsi, ayo main di nasional. Road to hundred, seratus cabang. Angka yang besar atau angka yang kecil 100 itu? Kecil lah, kalau dibandingkan dengan 514 kota di Indonesia, ya cuman seperlimanya, padahal per kota bisa diisi sampai 4 outlet kan? Tapi kalau dibandingkan dengan jumlah outlet aktual saat ini yang Anda miliki yang cuma 1 atau 2? Maka 100 outlet, ya maknyus juga, semacam omzet saat ini, kalikan 100 kali lah.
.
Saweran
Memang apa keuntungannya kalau outletnya banyak? Jelas omzet, pasti karyawan yang diberdayakan, posisi tawar dengan supplier, dan tentu saja bisa saweran, biaya biaya bisa ditanggung barengan. Biaya endorse influencer misalnya, atau ongkos bayar konsultan pemasaran, bisa ringan kalau dibagi 6 outlet aja misalnya. Konsultan Pemasaran nya dari kota manapun di Indonesia, bebas aja, dari Kota Malang misalnya. 😇
.
Jadi, mau buka cabang, atau mau buka wacana forever?