Pahami Horizontal Growth
.
Mitos Atau Fakta?
Kalau mengelola 2 outlet, 3 outlet, 4 outlet, 5 outlet, 6 outlet, itu pusing mengelolanya mirip mirip? Kalau bahasanya disebut beti-beti alias beda tipis. Lha, kalau mirip pusingnya, kenapa perlu buka cabang? Eh, tunggu dulu, ada persamaan, tentu juga ada perbedaan. Apa yang beda? Hasilnya! Kalau cuma punya 2 outlet, ya hasilnya akumulasi dari 2 outlet, kalau 6 outlet, hasilnya juga akumulasi dari 6 outlet, dengan level pusing yang mirip. Sampai sini paham, kenapa perlu nambah outlet? 😇
.
Horizontal growth, adalah istilah yang Saya dapatkan dari Pak Budi Isman. Entah Beliau mengakui Saya sebagai murid atau bukan, yang jelas, Saya belajar banyak dari kapasitas dan pengalaman Beliau yang tidak diragukan lagi. Kebetulan dalam sebuah kesempatan, saat iMARKS dipercaya menangani Marketing Development Program (MDP) u/ Lazizaa di 2018, ada sesi meeting bersama Pak Budi Isman di salah satu hotel di kawasan Bandara Juanda Surabaya. Di momen tersebut Saya paham istilah horizontal growth, selaras pemahaman konteks ekspansi Lazizaa yang saat itu merambah 15 kota dengan puluhan cabangnya. Horizontal growth adalah nambah omzet dengan nambah outlet, istilahnya nambah cabang pipa masuk ke kolam usaha kita.
Tambah omzet dengan tambah outlet
.
Kenapa perlu buka cabang? Toh dengan satu cabang ini saja, hidup sudah nyaman, keluarga sudah enak, nanti anak tinggal melanjutkan. Indonesian dream! Tapi mohon maaf, pola pikir yang UKM begini, yamg kemudian bikin pertumbuhan jadi jalan di tempat, menghasilkan bisnis-bisnis yang legenda, survive bertahun-tahun, belasan tahun, puluhan tahun, tapi ya cuman begitu-begitu saja. Masalahnya bukan owner dan keluarganya saja yang pingin makmur dan sejahtera, pola pikir pertumbuhan memberi ruang jajaran manajemen untuk dapat turut membesar dengan jalan memperbesar perusahaan. Its no longer family business, its a growing company. Memang, intinya diajak berpikir lebih besar. Kalau bisnis kuliner kita misalnya, tidak buka cabang, bukan berarti konsumen di tempat di luar sana, tidak makan. Mereka tetap juga makan, tapi jangan baper jika menu makanan mereka, disajikan dan dilayani kompetitor. Hal ini lumrah, kan, cabang kita belum ada, titik distribusinya tidak menjangkau kesana. Kemudian, narasi besarnya tentu adalah masalah nasionalisme. Seberapa tidak becuskah kita sebagai bangsa secara mandiri menyediakan makanan yang halal dan baik? Apakah kita diam saja saat badut dan pak tua merajalela? Sekedar menyediakan makanan untuk bangsa sendiri, kita tak berdaya.
.
Penyebaran cabang juga perlu pemikiran yang matang. Ingat, di Indonesia ada 34 Propinsi dan 514 Kota dan Kabupaten. Secara strategis, untuk membuka cabang, jangan sporadis jika tidak ingin berakhir sadis, nusantara ini luas, menguasai 1 propinsi saja, sudah kelabakan kita merasakan kontraksi pertumbuhan. Selaras dengan penambahan cabang aspek suppy chain dan span of control jadi isu penting. Buka cabang di kota sebelah atau buka cabang di propinsi sebelah, akan sangat berbeda struktur biaya dan dosis mikirnya. Jangan memaksakan pertumbuhan cabang yang berpencar atau scatter, tapi sebisa mungkin diatur jalur yang radial alias melingkar. Bayangkan obat nyamuk bakar? Nah, kira kira seperti itu saran pengembangannya, jangan scatter, pilih radial, itupun ketika buka di 1 kota yang baru, berpikirlah di kota itu nanti akan memasang outlet di berapa penjuru? Jadi sekalian mikirnya, sekalian surveynya, sekalian dampak hasilnya. Nyari untung jangan nanggung.
.
Tahap awal tentu adalah persiapan. Diantara 514 kota di Indonesia, mau buka dimana? Lakukan survey awal, dengan data primer maupun sekunder. Masukkan (nama-kota) dalam angka di google, download, pelajari dan analisis datanya. Lanjutkan dengan kontak teman atau kolega yang tinggal dan hidup disana, bagaimana perilaku konsumen disana, lalu perdalam dengan observasi langsung disana, dari aspek customer, competitor, dan company. Kalau oke, masukkan dalam time plan, dan mulai bikin kampanye dan validasi melalui media sosial misalnya. Proses survey ini juga akan berkorelasi dengan Rancangan Anggaran Biaya (RAB) yang dibuat lho. 5 variabel biaya utama perlu dialokasi rapi : sewa tempat, renovasi dan peralatan, gaji karyawan sekian bulan pertama, modal kerja untuk bahan baku, dan anggaran grand opening. Alokasinya? Cieee, penasaran ya? Kontak deh konsultan yang Anda kenal, biasanya ilmunya dari mereka gratis, eksekusi dan pendampingannya yang bayar.
.
Sudah mantap? Maka tanggal grand opening ditentukan. Berbagai persiapan dilakukan semaksimal mungkin. Grand opening biasanya memuat puluhan checklist kesiapan yang perlu dipenuhi. Promosi dan publikasi terus digenjot. Media partner dan undangan-undangan dikabari untuk hadir dan meramaikan. Bayangkan mau meledakkan sebuah petasan? Ya! Perlu ada sumbu yang disulut, grand opening adalah upaya menyulut sumbu. Buat manasin dan tes kesiapan? Boleh, ada soft opening dulu.
.
Setelah grand opening? Biasanya ada promo demi promo lanjutan untuk memberikan denyut. Momen momen ini biasa disebut honeymoon effect. Animo masih tinggi, rasa penasaran membumbung, banyak yang pengen nyoba dan nyicip, antusias jelas terasa. Pantau terus, jangan lengah. Yang datang konsumen baru terus, atau sudah mampu mencetak konsumen repeat, yang beli lagi karena cocok dengan produknya. Ini adalah profil konsumen yang dicari dan perlu diperdalam.
.
Setelah sekitar 3 bulan perjalanan outlet baru, biasanya sudah terdeteksi, kondisi normalnya di angka berapa revenue dari sebuah outlet. Setelah aneka promo dan penawaran spesial berakhir, berjalan di harga normal, berapa sih normalnya angka penjualan. Kondisi ini disebut plateau, kondisi datarnya sebuah outlet, tanpa treatment-treatment yang sifatnya akuisisi. Kalau mau kasih denyut? Tentu, manfaatkan momen momen atau lahirkan program program promosi pemikat hati, goda dan rayu para konsumen untuk memiliki extra reason belanja di outlet kita.
.
Akhirnya? Ada yang nyeletuk nanya : Sam Faizal, enak aja bahas buka cabang buka cabang? Ongkosnya dari mana? Pinjam bank? Gandeng mitra? Atau bagaimana? Ya terserah Anda lah, pikirkan, kan usah juga usahanya Anda, ngapain Saya yang kudu pusing mikirin? 😊😊. Jangan buka kerjasama dulu sebelum minimal punya 6 outlet milik sendiri, tervalidasi dan profitabel. Skemanya sederhana, misal modal buka outlet 300juta, outlet saat ini omzet sebulan 150juta, nett profit 20%, maka logikanya sebulan ada uang nyantol 30 juta. Sabar aja, 10 bulan lagi harusnya punya uang 300 juta buat buka outlet dengan modal sendiri. Lalu, dari titik itu, bulan kemudian, bisa buka lagi dengan modal sendiri, kemudian turun ke 3 atau 4 bulan selanjutnya, sudah buka lagi. Tau nggak logika dan cara ngitungnya? Kenapa dari 10 bulan, ke 5 bulan, ke 3-4 bulan?
.
Lho, lha ini Saya sudah bertahun tahun buka outlet, kok nggak ada yang nyantol ya? Cek lagi deh di pembahasan sebelumnya, di vertical growth, jangan-jangan selama ini, cuma merasa untung, semu ternyata, karena ternyata usahanya gak ada keuntungannya, capek doang, tapi baru nyadar sekarang, amsyongg…….

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Go Top