Pahami Customer Data
.
Permisi, bukan maksud kepo atau sotoy, cuman mau nanya. Bisnis kulinernya sudah jalan cukup lama kan setahu Saya, ada punya data konsumen nggak? Pasti punya kan? Kayaknya yakin begitu ekspresi dan posturnya. Ada berapa data konsumen yang dimiliki? Belasan, puluhan, ratusan, atau ribuan data konsumen? Woow! Kok agak datar menjurus sedih begitu ekspresi mukanya? Ah, nggak mungkin deh, masa nggak punya data konsumen? Masa nggak ada? Serius? Wah! Banyak temannya dong! Di Malang, ada resto bebek yang sudah jalan sekitar 6 tahunan, kondisi tidak punya data konsumen. Saya jalan ke Medan, ada kedai mie ayam yang sudah beroperasi 29 tahun, tidak punya data konsumen. Lanjut ke Makassar, ada warung bakso yang melayani sejak 32 tahun yang lalu (setara periode berkuasa orde baru di Indonesia 😇), tidak punya data konsumen. Nggak penting? Atau, belum paham pentingnya?
.
Semisal nih ya, anggap saja Kita punya data konsumen, enak lho! Kita kan sudah pernah bahas mengenai profiling, kalau ada data konsumen, bisa kita cocokkan, apakah asumsi segmen market yang kita sasar, cocok dan sesuai dengan konsumen aktual yang datang, ya nggak? Kalau cocok, kan tinggal di gas, kalau nggak cocok, perlu di adjust and allign agar selaras, bebas! Profiling bukanlah sebuah proses yang mati dan berhenti, namun lebih bersifat dinamis dan berkembang. Beberapa klien Marketing Development Program yang didampingi iMARKS bahkan secara rutin dan berkelanjutan melakukan profiling, agar terus peka dan tetap siaga memantau profil konsumen idealnya. Mudah, kalau punya data konsumen ya.
.
Semisal, punya data konsumen, perlu diamati, konsumen yang ada ini, konsumen baru yang datang, atau konsumen yang sudah pernah datang dan repeat? Ini menjadi penting, karena kalau yang datang orang-orang baru melulu, hati-hati bom waktu, jangan-jangan produknya ini termasuk produk trend singkat. Bikin penasaran dan memikat, tapi setelah rasa penasaran terpenuhi, konsumennya ogah balik lagi, enak tapi nggak ngangeni, udah sekali ajah, yang penting sudah nyoba. Apa nggak boleh? Ya boleh saja, barangkali memang model bisnisnya begitu, memanfaatkan trend, making money, taking profit, lalu saat trend turun, pindah ganti produk yang lain, yang penting sudah dapat cuan. Nah, kalau yang masuk sebagai data konsumen ini adalah konsumen yang repeat, boleh deh senyum dikit, ingat ya, senyumnya dikit aja, yang banyak itu ibadah sama sedekah 😇. Repeat customer adalah bahan bakar kualitas tinggi untuk keberlanjutan dan pertumbuhan bisnis Anda, merawat lebih strategis daripada nyari nyari terus yang baru. Ini prinsip untuk konsumen ya, tapi, nampaknya relevan juga untuk jadi prinsip terhadap pasangan hidup 😙
.
Bayangkan kalau sudah punya data konsumen, lalu profilnya jelas teridentifikasi, enak sudah. Perumpamaannya seperti punya kolam, yang ekosistemnya sehat, dengan terisi ikan yang jelas jenisnya, diketahui karakter dan perilakunya, sehingga masalah dan kebutuhannya sudah spesifik. Mau lempar pakan apa saja, asal sesuai, ya habis disamber. Apa artinya? Misal nih ya, mau spin-off, mau menyediakan produk baru, menu baru, bahkan memvalidasi brand atau bisnis baru, istilahnya ya lurus wae! Kolamnya sama, makanya, ciptakan kolam yang terkondisi. Miliki data konsumen!
.
Lha dikira kenapa kita kudu install Gojek dan Grab? Pengguna Telkomsel diarahkan install My Telkomsel, pengguna IM3 install My IM3, para merchant dan tenant pada punya member card, join member, dan sejenisnya, yap, di level atas, perusahaan sangat serius dalam mengurus data konsumen ini. Mereka sangat perlu tahu siapa konsumennya, latar belakangnya, perilaku belanjanya, dan detail-detail geografis, demografis, psikografis, maupun behaviouralnya. Lha Kita? Duhkah, kerasa beda memang antara langit dengan sumur! Lha kan mereka modalnya gede, sumber dayanya banyak, ngana, nganu, ita, itu, duhkah, seandainya kalau beralasan itu bikin bisnis kita sukses, maka mari kita tulis buku, gelar diskusi diskusi, bikin seminar dan workshop tentang : Alasan!
.
Ah, jadi ingat Aa Gym, yang dengan santun beliau ajarkan, mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai sekarang juga. Yang masih doyan bikin alasan, ke laut aja, biar dimakan ikan hiu. Prinsipnya sederhana, yakni : bagaimana mendapat data konsumen, bagaimana mengolah data konsumen, dan bagaimana melakukan follow up atas data konsumen yang sudah diperoleh.
.
Cara mendapat?
Ya tanya dan minta ke konsumennya! Emang mau? Malah Saya tanya balik, emang pernah minta? Atau pernah berhalusinasi minta data konsumen dan berasumsi mereka tidak mau? Duhkah! Memang sih, tidak semua atau 100% konsumen mau memberikan data, tapi kalau ambil kata 50% saja dari semua konsumen mau kasih data, hemm, yang 32 tahun tadi kayaknya sudah punya bank data konsumen yang berlimpah ruah. Jalurnya? Offline bisa, pakai buku tamu atau pakai undian dengan kupon yang memuat data, bisa kan? Kalau online? Lebih gampang, pakai promo atau giveaway yang mensyaratkan menulis nama dan nomer WA, panen data sudah.
.
Sudah dapat data? Ayo dikelola, dipilah dan dipilih. Data konsumen dari program apa? Data konsumen dari outlet mana? Dipilah mana yang cowok mana cewek, dipilah dari besaran belanja, dipilah dari operator seluler, dipilah dari lokasi tempat tinggal, jadi, datanya nggak mungkin manual ya, pucing pala berbie nanti kalau disuruh ngurusi. Kondisikan data konsumennya digital, excel atau spreadsheet gitu, bukan tumpukan kertas berdebu, emang ini mau collect data konsumen, atau mau bikin mushaf? 🤭🤭
.
Data konsumen sudah ada, ya jangan di diemin, jangan dianggurin, ajak ngobrol kek, tanya tanya apa gitu. Misal konsumen baru, bisa ditanyai hal hal identifikasi seperti : tahu dari mana? Kenapa memutuskan membeli? Kalau nggak beli ke kita, beli kemana dan kenapa? Digali dan diperdalam. Follow up juga bisa berupa informasi promo, informasi pembukaan outlet baru, atau, melibatkan mereka dalam validasi calon menu yang baru. Intinya kayak rumah tangga lah, kalau suami dan istri sering ngobrol, sering curhat dsri hati ke hati, maka tercipta harmoni, dan rumah tangga akan baik-baik saja, sejahtera aman sentosa, sakinah, mawaddah, wa rohmah, till jannah.
.
Tapi kalau diem-dieman? Gak pernah ngobrol, cuek cuek aja, itu seperti cowok yang ngajak debat sama cewek. Mitos kalau sang cowok berharap menang, bisa seri aja udah lumayan 😇, apalagi kalau sang cewek udah keluar kata-kata : bodo amat, terserah, atau diam seribu bahasa, hiiy, syereeemm……….

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X
Subscribe to get 15% discount