Pahami Business Model
.
Mentor Saya pernah bilang, bahwa model bisnis yang tepat akan menjadi faktor penentu sebuah bisnis bisa tumbuh atau tidak. Jaman cupu, ketika ikut kerja, Saya sering diajak pimpinan meeting dengan banyak pihak, mulai dari anggota DPR, orang Kementerian, Gubernur, dan juga beberapa tokoh, sering pimpinan Saya ketemu dengan beberapa orang, obrol sebentar, dan kemudian, eh, pimpinan Saya nyeletuk : gak bakal bisa itu Pak, atau, malah : bisa jalan itu Pak kalau (…..)
.
Saya cuman garuk garuk kepala. Apa pimpinan ini sakti, sehingga cuma dari obrol, bisa memprediksi apa yang works dan apa yang tidak? Nggak paham Saya. Ini pakai ilmu klinik bisnis atau ilmu klenik bisnis, Saya nggak mengerti juga. Berhubung Saya anak kuliahan, pernah makan bangku kampus dan pernah godain kembang kampus, Saya yakin bahwa ada proses analisis yang terlibat dalam mencerna dan menyimpulkan atas sesuatu.
.
Lompat ke 2014, ketika Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan, dan memajukan diri menuju entrepreneur, kelas grounded business coach yang dipandu oleh Doktor Imam Elfahmi mengenalkan Saya dengan istilah : business model, atau model bisnis. Jujur, ini semacam eureka! bagi Saya, karena awalnya dan awamnya, Saya menganggap semua bisnis itu prinsipnya sama. Pokoknya bisnis ya menjaring potensi, mengelola resiko, dan memetik hasil, atau bisa juga gagal total amburadul.
.
Kalau penjelasan bisnis model itu apa, di google pasti sudah banyak, di youtube juga berlimpah. Kita pakai awamnya saja, alias SPP (Sing Penting Paham). Setelah diskusi dengan beberapa orang, lalu melakukan callback, nanya balik, apa pemahaman yang mereka tangkap, simpelnya model bisnis itu nyasar siapa, jualan apa, perlu apa, dan dapat duitnya bagaimana. Ya sudah kalau pahamnya itu, pakai jurus salah paham aja, njelasinnya salah salah, tapi yang dikasih penjelasan akhirnya paham.
.
Di S3 Marketing, business model ini penting, karena, pemahaman dan penjelasan yang didiskusikan di S3 Marketing punya korelasi dan relevansi spesifik ketika diterapkan dalam bisnis yang menjalankan model B2C alias business-to-customer. Hal ini dilatarbelakangi oleh ruang pengalaman dan industri yang ditangani iMARKS saat buku ini ditulis, beroperasi di banyak klien bisnis kuliner yang model bisnisnya adalah B2C, memproduksi dan menjual langsung ke konsumen.
.
Apakah ada model bisnis yang lain? Tentu! Ada B2B alias business-to-business. Bayangkan Anda adalah supplier ayam, atau supplier beras ke Sayap Grak, nampaknya tidak perlu repot-repot baca baca mantra di buku S3 Marketing dan menerapkan di bisnisnya. Memang beberapa prinsip maupun konsep berpikir akan nyambung, tapi relevansi secara utuh jelas tidak akan ditangkap lengkap.
.
Kalau model bisnisnya pakai jalur distributor, agen, reseller, bisa beda lagi pembahasannya. Ada yang mainnya network marketing, atau memilih model bisnis affiliate, tentu berubah pula pendekatannya.
.
Semakin mumet kalau masalahnya bukan di model bisnis, tapi justru bisnisnya belum ada atau belum punya, walhasil, bakalan senyam senyum doang baca S3 Marketing, jurus PPN alias Pura Pura Ngerti. Buku S3 Marketing ditulis kental dengan studi kasus, sehingga kalau Anda memang pemain atau praktisi di bisnis yang modelnya B2C, terutama jika bidang industrinya relevan, maka S3 Marketing itu laksana micin yang nagihin.
.
Itupun bersyarat ya! Bisnisnya masih mode UKM yang minta ditoleransi dan dikasihani, atau sudah mode start up yang semangat pertumbuhannya meletup-letup?
.
Business model itu laksana cabang olahraga. Memilih cabang olahraga apa, akan berkorelasi langsung dengan aturan yang mengikat, seperti ukuran lapangan, jumlah pemain, durasi permainan, maupun aturan menang kalahnya.
.
Jadi, di business model yang mana bisnis Anda beroperasi? Jangan sampai main sepakbola pakai aturan billiards ya. Bukannya menang, adanya malah capek doang dan kena pelanggaran demi pelanggaran, meski arena bermainnya sama-sama berwarna hijau.