Dulu masa sekolah atau kuliah kita selalu dapat uang saku kan? Ada macam-macam caranya, misal saat SMA masih sama ortu kita di kasih uang basis harian. Lalu pas kuliah kita dapat uang bulanan karena beda kota, biar ndak pulang pergi tiap hari dan capek di jalan. Masa kuliah pas jadi mahasiswa itulah bisa di katakana kita mulai tahu manajemen keuangan. Kalau saya selalu membagi langsung ketika dapat uang bulanan. Buat bayar kost, makan, dan biaya kuliah. Jadi rasanya itu kalua awal bulan itu uda ngrasa orang kaya sedunia ni, lalu bagi2 uang di pos masing-masing. Walau seperti itu akhir bulan juga tetap kadang ngrasain masa-masa makan itu bergeser makanan pokok nasi menjadi mie instan. Tengah bulan biasanya uda mulai tu kulakan beli mie instan.

Dalam bisnis kuliner juga seperti itu. Penting bagi laperpreneur untuk bisa membagi alokasi dari omset yang di dapat. Omset pendapatan 1 bulan itu seperti uang bulanan jajan kita tadi. Dari omset tersebut perlu di bagi bagi alokasinya agar tepat sasaran dan tidak merugi atau sengsara kayak kita di akhir bulan pas masa kuliah.

Poin-poin yang membagi omset adalah

  1. HPP (Harga Pokok Produksi)
  2. Gaji karyawan
  3. Oprasional
  4. Marketing
  5. Profit

5 poin itu yang kami aplikasikan dalam klien kami. Sudah sangat standart 5 poin tersebut. Sudah hamper mengcover setiap pengeluaran yang ada. Walaupun ada beberapa dari pebisnis lain yang memasukkan post tersendiri seperti post biaya ojol, karena masa millienials maka masuk dalam gojek dan grab sudah menjadi kewajiban bagi pebisnis kuliner. Sah sah saja di sendirikan, misal mau dijadikan satu dengan post marketing juga bisa.

HPP adalah merupakan fix cost yang paling utama dalam bisnis kuliner. Biaya beli-beli bahan produksi. Kalau sampai ini tidak ada biayanya maka besok tidak bisa jualan, tidak ada ayam yang di goreng, tidak ada sambal yang dibuat, dapur kosong tidak ada aktifitas produksi. Berapa normalnya ni kalua bisnis kuliner? Dalam kuliner HPP bisa di angka 40-50 persen sudah sangat bagus. Artinya masih ada banyak spare yang bisa di pakai untuk memaikan promo. HPP dalam bisnis kuliner dasar penting, jadi hitung dengan baik. Pebisnis baru biasanya menentukan HPP hanya melihat harga pasar. Oh biasanya ayam goreng itu harga segini, competitor harga segini ayo kita bikin lebih murah 5000 rupiah. Alih2 merebut hati konsumen, malah jadinya kerja bakti, kerja namun tidak punya profit. Banyak fakta yang kami jumpai saat pendampingan. Owner kami beberapa yang berangkat dalam menentukan harga jual melihat dari competitor. Namun setelah sadar bahwa setiap produksi harus dihitung, baru sadar dan ketahuan jadi selama ini kita Cuma jadi Yayasan, kita buat makanan untuk di bayar pas oleh pelanggan. Kerasa juga ketika membuat promo, lho kq kita jadi rugi pas menjalankan promo ini? Ketahuan di akhir bulan, dan jadinya kebakaran jenggot.

Gaji karyawan juga merupakan fix cost. Biaya yang mesti keluar untuk membayar tim outlet. Yang sehat adalah dari tiap outlet mampu membayar gaji karyawannya dari omset outlet tersebut. Besaran normal dalam batas ini adalah 10%. Lebih dari 10 persen maka perlu di lakukan oper karyawan ke cabang lain misalnya, atau lebih memperbesar omset. Dalam klien kami mesti terjadi kebingungan. Karyawan outlet bisa lah aman dan jelas jikalau gaji mereka didapat dari outlet yang mereka jaga. Lah lalu tim managerial yang tidak dalam outlet dapat gaji dari mana? Yes, mreka ndak gajian karena ndak menghasilkan di outlet, buyar tim manajerial kalau tidak mendapatkan hak mereka. Post mereka di ambil dari kumpulan profit dari tiap outlet. Profit2 dari tiap outlet adalah omset mereka. Maka dari posisi ini tim manajerial juga membuat laporan serupa dengan apa yang di buat oleh tim outlet.

Berikutnya adalah oprasional yang di maksudkan adalah biaya biaya untuk sewa tempat, air, listrik, transportasi dan wifi. Biaya ini juga akan menjadi beban fix yang harus di tuntaskan bulan tersebut agar bulan depan tetap bisa buka outlet ditempat yang sama. Batas maksimal yang kami sarankan ada di angka 10%.

Marketing adalah biaya yang lebih fleksibel. Ketika perlu aktivasi yang besar maka bisa mencapai angka pemakaian di 10%. Namun jika sudah pada tahap normal biaya marketing bisa memakai dana 3 %. Di klien kami membagi dana marketing secara 3 tahap. Per 10 harian pertama, kedua dan ketiga. Kenapa seperti itu, agar bisa di evaluasi dan dana yang marketing realistis untuk di keluarkan. Perhitungan angka ini merupakan strategi, yang mana langkahnya berangkat dari target omset. Dari hal tersebut maka real uangnya belum tentu ada.

Terakhir adalah profit, yang mana merupakan sisa omset di kurangi poin 1-4. Sisa sisa dari pemakaian.

Berikut contoh pembagian post Omset.

Financial Pelaporan
Outlet Omset HPP (Harga Pokok Produksi) Gaji Oprasional Marketing Profit
Target Realisasi Deviasi Target Realisasi Deviasi Target Realisasi Deviasi Target Realisasi Deviasi Target Realisasi Deviasi Target Realisasi Deviasi
Angka Rp100,000,000 Rp50,000,000 -Rp50,000,000        
Prosentase 100% 50.00% -50.00%        
   
Angka Rp100,000,000 Rp100,000,000 Rp0    
Prosentase 100% 100.00% 0.00%    
   
Angka Rp100,000,000 Rp150,000,000 Rp50,000,000    
Prosentase 100% 150.00% 50.00%    
Angka Rp300,000,000 Rp300,000,000 Rp0 Rp120,000,000 Rp145,000,000 -Rp25,000,000 Rp30,000,000 Rp9,000,000 Rp21,000,000 Rp30,000,000 Rp10,000,000 Rp20,000,000 Rp30,000,000 Rp7,000,000 Rp23,000,000 Rp90,000,000 Rp129,000,000 Rp39,000,000
Prosentase 100% 100.00% 0.00% 40% 48.33% -8% 10% 3.00% 7.00% 10% 3.33% 6.67% 10% 2.33% 7.67% 30% 43.00% 13.00%

Disertakan juga target secara persen dan angka dalam laporan tersebut. Itu adalah tabel yang saya buat yang suda ada formulanya. Yang perlu di ganti cukup angka-angka yang warna biru, diisi sesuai dangan fakta di lapangan.

Kepala cabang, dan keuangan tim manajerial harus membuat laporan seperti itu untuk melihat seberapa jauh kita antara target dan pencapaian. Kuncinya adalah kita tahu data, tahu angka, sehingga kita bisa membahas strategi alokasi pengaturan biayanya. Setiap yang lebih dari target ideal maka perlu di lakukan evaluasi. Hpp yang terlalu tinggi salah satu cara adalah dengan meningkatkan harga jual. Namun ada beberapa owner yang tidak rela harganya dinaikan.

Contoh kasus adalah Roti Gembong Juanda, setelah tahu ilmu HPP baru diketahui kalau produk roti yang taglinenya sampai tumpah-tumpah selainya tipis marginnya. Menaikkan harga jual atau memimilasi HPP dengan mengurangi value atau lagi dengan cara menghilangkan menu tersebut. Pada saat itu yang di ambil adalah keputusan meminimalis HPP dengan mengurangi selai, tidak lagi tumpeh-tumpeh. Inilah contoh salah satu keputusan yang di ambil karena kita tahu dan paham soal alokasi pembagiannya. Ingat juga bahwa setiap keputusan yang di ambil nantinya akan berdampak bagi konsumen kita. 1 bulan berjalan dengan keputusan tersebut, mendadak RGJ menjadi sepi pelanggan. Saat ada kesempatan kami adakah FGD disana, terbongkar jikalau banyak pelanggan merasa kecewa. Kecewa karena value tumpeh-tumpeh sudah tidak bisa didapatkan lagi. Mereka yang bisa beli satu rotu selai dan roti tawar, tidak bisa lagi memakai cara menikmati makan roti tawar dengan di cocol ke selai yang tumpeh-tumpeh dari yang ada selainya. Manfaat lain dari pencatatan alokasi yang baik nantinya kita akan bisa dengan mudah menentukan target/proyeksi untuk omset berikutnya. Perjelas dulu saat hendak perang, ketahui sumber persediaan makanan kita untuk tim, tahu dulu amunisi kita saat hendak berperang.  

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Go Top