Kenapa makan itu enak? Seolah kita tak bisa berhenti dan tegas bilang lantang bahwa kita tidak lagi mau makan?
.
Saya masih ingat ekspresinya salah satu presenter TV yang mengatakan : ooooh, its feel so good, I can’t hold myself to get it more!
.
Jelas presenter dari luar negeri ya, karena kalau lokal disini, kita pasti akan dapatnya ungkapan seperti : Maknyus – nya Pak Bondan atau Endulita ala para food reviewer, meski sampai sekarang, Saya nggak faham juga, endulita itu artinya apa.
.
Ketika kita makan, maka sistem dalam tubuh kita menghasilkan hormon dopamine, dan yes, it feels so good, kayak pas nyari pas dapet, pas butuh pas ada, pas pengen pas keturutan. Makanya, makan seakan jadi sebuah rutinitas jelas yang tak terlewatkan. Saya tergabung di Komunitas Tangan Di Atas (TDA), yang bahkan mempelesetkan Kelompok Mentoring Bersama (KMB), menjadi Kelompok Makan Bersama.
.
Karena sifatnya yang rutin dan berkelanjutan, makan menjadi sebuah kebutuhan yang perlu dipenuhi. Hmmm……, masalah pastinya, dan tidak ada padanan paling tepat dari sebuah masalah, selain : solusi.
.
Seperti kita ketahui kemudian, bisnis kuliner lahir dan berkembang, dalam aneka ragam bentuk dan inovasi, hmmm…., yummy. Tampak menggiurkan bukan? Jadi, kalau masuk bisnis kuliner ada potensi? Pastinya! Tapi, akan menemui resiko? Tentu saja.
.
Fenomena entrepreneur dalam bidang bisnis kuliner ini, kemudian memicu minat Saya, dan agar punya pembeda, Saya sebut saja : Laperpreneur! Kenapa kok laperpreneur, ya karene bisnis kan hakikatnya mencari masalah, kemudian berupaya keras memberikan solusi atas permasalahan. Karena berangkat dari satu masalah, yakni : laper! Maka para pebisnis kuliner ini, keren juga kalau diberi label pemberi solusi, para laperpreneur.
.
Faizal Alfa
PT Fortuna iMARKS Trans
Marketing Development Partner