Dalam suatu sesi pendampingan, Saya mengajukan pertanyaan pada klien :

“Produk terlaris apa?”

Dijawablah dengan penuh semangat dan antusiasme. Muncullah salah satu produk yang memang terbukti paling laris. Penjualannya top mengungguli yang lain. Saya penasaran, kenapa produk itu jadi produk yang terlaris? Apakah terjadinya karena by design, atau terjadi begitu saja by accident?

.

Jawaban yang muncul, menarik perhatian Saya, karena larisnya produk best seller tadi, ternyata dirancang, by design! Apa indikatornya? Simpel, produk itu adalah produk dengan harga jual tertinggi, jadi memang sengaja dipilih. Di buku menu, produk tersebut diletakkan di posisi atas, dengan ukuran foto dan tulisan yang lebih besar, mantap!

.

Fakta lain yang diperoleh, bahwa ternyata ada jurus bawah tanah juga dilakukan. Seluruh waiter di briefing untuk melakukan up-selling ke produk unggulan tersebut, dan waiter yang berhasil mencetak transaksi produk tersebut, cring-cring-cring, mendapat insentif tambahan saat hasil penjualan direkap. Mantap!

.

Pertanyaannya, apa benar, tindakan total dan brutal mendorong penjualan produk unggulan tersebut adalah tindakan yang tepat secara bisnis? Sedikit Saya kupas dengan mengajukan pertanyaan sederhana, memangnya, produk unggulan tadi HPP nya berapa persen? Dan dibandingkan dengan jenis produk yang lain, apakah HPP produk unggulan ini, masuk kategori HPP rendah, apa malah HPP tinggi?

.

Seketika ruangan hening, dan beberapa detik kemudian, justru muncul pertanyaan balik : HPP itu apa?

.

Glodak. Oke

Perlu agak tekun penjelasannya. Walhasil, lobi hotel Fave malam itu jadi saksi penjelasan panjang, timur ke barat, selatan ke utara, mengenai pentingnya menghitung HPP, memasukkannya dalam tabel-tabel dan melakukan pengkategorian, hingga kemudian membuat penjelasan mengenai hubungan HPP dan marketing yang ternyata terkait erat melekat kuat. Mata sudah pedes, tapi tekat kudu dijaga agar urusan beres.

.

Harga pokok penjualan atau HPP adalah istilah yang digunakan pada akuntansi keuangan dan pajak untuk menggambarkan biaya langsung yang timbul dari barang yang diproduksi dan dijual dalam kegiatan bisnis. HPP muncul pada laporan laba rugi sebagai komponen utama dari biaya operasi.

.

Beberapa pebisnis menyebutnya sebagai ongkos raw material. Makin rendah HPP, makin bagus doong, jadi makin longgar anggaran untuk dialokasikan ke berbagai pos yang lain. Kalau HPP nya semakin tinggi, maka ruang gerak atas produk itu, jadi semakin terbatas. Kalau HPP nya terlampau tinggi, keputusan ekstrim perlu dilakukan, apakah menekan HPP dengan me nego supplier, menaikkan harga, atau, cara cepat saja, hapus produk tersebut dari daftat menu.

.

Kembali ke produk unggulan yang penjualannya tinggi tadi, setelah dijelaskan HPP, dibedahlah produk tersebut, apakah termasuk HPP rendah atau tinggi, dan benar saja, ternyata meskipun harganya tinggi, produk tersebut ternyata juga membawa fakta bahwa HPP nya tinggi!

.

Juederr!! Bagai disambar petir di siang bolong! Sudah dipromo habis habisan, di upselling ke produk itu, dialokasikan insentif ke waiter yang menawarkan, ternyata HPP nya tinggi. Apa kesimpulannya? Ya dapat hore dan dapat capek doang!

.

Solusinya? Ambil air wudhu, cari arah qiblat, laksanakan sholat tobat. Demi ketahanan pangan nasional, maka, produk unggulan kemudian diputuskan menjadi produk kenangan. Produk dihilangkan dari daftar menu, karena melakukan nego harga ke supplier berat, mau menaikkan harga persepsi sudah terbentuk. Opsi eliminasi yang diambil, dengan produk pengganti yang HPP nya lebih ciamik sehingga laba kotornya lebih bongsor.

.

Alhamdulillah, jadi tau HPP, meski barusan dan beraroma keterlambatan. Patut disyukuri, karena di luar sana, masih banyak pelaku usaha yang masih menatap kosong dan mendadak hening ketika ditanya : HPP nya berapa? Gemeternya kayak ditanya : Man Robbuka?

.

Faizal Alfa

PT Fortuna iMARKS Trans

Marketing Development Partner

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Go Top