2. Bahasa Asing Bikin Pusing

Namanya Fiqy Zamani, salah satu teman SMP Saya. Dari Beliaulah sejarah bahasa inggris Saya bermula. Saat SMP, Fiqy lebih beruntung, karena orang tuanya punya biaya untuk mengirim Fiqy les di lembaga kursus bahasa Inggris. Di Jombang, saat itu, yang paling ngetop, namanya EEC. Kalau Saya bilang Fiqy beruntung, karena, Saya mau bilang, bahwa Saya lebih beruntung. Demi melancarkan bahasa Inggrisnya, Fiqy bersedia praktek ilmu yang dipelajari, dengan mengajarkannya ke Saya. Jadinya, Saya dapat les bahasa Inggris gratis, privat pula. Selepas maghrib, Fiqy mampir ke warung Orang Tua Saya, dimana Saya sedang tugas jaga. Sambil genjrang genjreng gitar bolong, tiap hari Saya belajar Bahasa Inggris.

Lanjut di SMA, Saya ikut ekskul Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman, sampai ikut lomba di Unesa Surabaya. Baca puisi sudah susah kan? Saya diikutkan lomba, baca puisi, pakai Bahasa Jerman, ngerih kan? Kuliah pun pekerjaan pertama Saya, kerja di Insan Citanya Sam Ferry Angga dan lanjut ke English Time ikut almarhumah Mbak Putrie A. Tiarina. Bahasa Inggris bukan masalah, apalagi adik Saya kuliah di Ohio, dan sejak aktif bekerja sebagai konsultan, mobilitas dari satu bandara ke bandara lain, PERIPLUS adalah destinasi rutin, dengan tujuan beli beberapa buku pemasaran dan bisnis, asli ditulis dalam Bahasa Inggris.

Bahasa Inggris bukan masalah, mulai dari penulisan sampai pengucapan, mulus cas cis cus, pemahaman konteks dan penggunaan keseharian, bukan tantangan yang menakutkan. Tapi…., nah, ada tapinya nih. Tidak semua orang punya keberuntungan dan kemudahan seperti yang Saya peroleh. Dalam banyak kondisi dan kejadian, kalau Saya pikir-pikir saat ini, Saya teramat sangat egois. Hanya karena Saya lincah Bahasa Inggris, dalam menyampaikan terkait pemasaran, Saya lebih memilih banyak menggunakan Bahasa Inggris, karena lebih keren kekinian, Saya merasa lebih pinter, lebih superior. Dasar Aku!

Padahal ya, kalau mau jujur, saat memaksakan menggunakan Bahasa Inggris dalam membahas pemasaran, aslinya, ya semakin panjang penjelasan. Saya menyebutnya, penjelasan 3 tingkat. Wiih, apa lagi itu Sam Faizal Alfa? Sederhana saja. Kalau konsep disampaikan dalam Bahasa Inggris, maka, tingkat pertama, Saya perlu menjelaskan kata dalam Bahasa Inggris yang dimaksud, belum tentu orang lain paham penulisan dan pengucapannya kan? Tingkat kedua, Saya perlu menjelaskan isi dari konsepnya. Tidak berhenti sampai disitu, Saya musti mencari padanannya dalam Bahasa Indonesia. Panjang ya? Tewur kalau dalam bahasa walikan Malang, alias : ruwet.

Memang, mau tidak mau, rujukan dalam beberapa keilmuan duniawi, semacam pemasaran, banyak dan berlimpah dari luar negeri, tentu saja disampaikan dalam Bahasa Inggris, namun, menurut Saya, kemanfaatan akan optimal, jika dikemas dan disampaikan dalam Bahasa Indonesia, apalagi secara sederhana, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang menerima. Menurut Saya, itu baru keren, istilah tepatnya : relevan. Kalau menyampaikannya ala ala Bahasa Inggris, menurut Saya, mending baca rujukannya langsung, malah asli.

Beda cerita, kalau memang tujuannya supaya yang menyimak jadi takjub dan kagum. Supaya mendapat gelar Pakar, diampu sebagai Suhu, atau dititah sebagai Mastah, maka, sah sah saja sih mengemas konsepnya secara baru dan beda, semakin sulit pengucapannya, semakin canggih bahasanya, maka semakin melangit pamornya. Supaya jelas memang beda level dan kastanya, duhkah, jadi nggak enak kalau bahas diri sendiri begini. Ya, namanya keresahan, ya memang Saya sedang curhatkan, apa yang jadi sengkarut di pemikiran. Niatan Saya pakai Bahasa Inggris yang klimis adalah supaya mengundang cicak, itu lho, biar cicaknya bunyi, kalau Saya sedang memaparkan konsep, agar ada bunyi ck, ck, ck, ck.

Kembali ke dasarnya, kalau tujuannya paham, maka, sebisa mungkin sampaikan dalam bahasa kaum tersebut. Saya seperti diingatkan, diluruskan dalam tujuan. Tujuannya kan bikin paham, ya jaga agar tujuannya tercapai, jangan malah putar balik. Kalau tujuannya paham, berikan langkah terpendek, cara paling praktis, penjelasan paling ringkas, perumpamaan paling mengena, jangan malah diputer puter kemana mana, diajak mikir yang kurang perlu, diajak pusing hal yang tidak terlampau penting. Dasar Aku!

Maka, langkah yang tidak boleh lengah dilakukan, adalah penyederhanaan, dengan tetap relevan. Kalau ada istilah dalam Bahasa Inggris, maka sebisa mungkin Saya carikan sekalian, padanan kata dalam Bahasa Indonesia. Kalau belum ada? Tenang saja, menciptakan istilah baru, tidak melanggar hukum kan?

Maksudnya begini, daripada Keminggris, biarlah, jadi Kemindonesia.

Sambil ingat ingat naskah Sumpah Pemuda pada bagian ketiga :

\”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.\”

Salam Pertumbuhan!

Faizal Alfa

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Go Top