Dari pengalaman hidup, berbagi dengan orang-orang yang lebih bijak, saya mendapatkan ilmu ini. Hidup berbagi membuat kita bertumbuh. Dulu kami sempat punya kelompok tumbuh bersama di dalam kepengurusan, dan bersama bertumbuh oleh mentor yang baik Bu Lidya Indriati. Dalam kepengurusan biasa kami mengalami miss komunikasi yang akhirnya berdampak pada konflik. Kepengurusan yang tanpa gaji, jadi sangat sulit untuk mempertahankan tim. Namun pada sesi ini kami tercerahkan dan bisa lebih memahami teman kami kemudian bisa menyikapi persoalan dengan baik.

Dalam satu pribadi diri kita kita itu memiliki sifat sebagai :

  1. Orang tua
  2. Dewasa
  3. Anak anak

Dalam waktu yang sama. Sadarkan kita akan hal itu?

Suatu ketika saya mengamati 4 anak yang lagi main. Di depan rumah yang saya tinggali masih banyak saya temui rombongan anak-anak yang kemudian mereka kunjungi rumah satu persatu dan melontarkan kata-kata Andi Andi main yuk. Kompak kayak paduan suara ada yang bass dan ada yang tenor. Awal pertama Yanto sebagai pelopor ngajakin main. Setelah Andi keluar, ganti pindah ke rumah lain, Rudi Rudi Ayok Main. Rudi keluar, lalu pindah lagi, Budi Budi main yuk, kalau yang menjawab mamanya, sek Budi sek tidur, maka mereka akan bilang, ini mama Budi. Lengkap Yanto, Andi, Rudi dan Budi di luar, semua tim berkumpul lalu mereka membahas main apa ni kita? Ayo wes kita main bola kata Rudi yang memang jago dan hobby main bola. Jangan-jangan di rumah ada nenek yang lagi sakit respon Yanto, kita main yang diem2an aja. Yah, ndak seru ini, ayo kita main yang ramai aja, apa aja tapi yang triak2 gitu, ku uda diam ndak ngomong di rumah dari pagi tadi kata Budi. Oh gitu ya To nenekmu lagi sakit, gimana kalau kita main petak umpet saja kata Andi. Gak ah, kita main bola aja, sepak bola aja, gpp, paling nenek Yanto ndak dengar, uda tidur pulas ngotot Rudi.

Dari cerita itu kita bisa melihat macam2 respon dari sifat dalam diri anak2 itu.

Yanto berlaku sebagai orang tua dalam case itu. Dia melarang main permainan yang ramai, yang bisa potensi menggangu istirahat neneknya.

Rudi merespon sebagai orang tua juga, ngotot main bola, dan memberitahukan kalau aman, nenek Yanto ndak akan terganggu

Budi merespon sebagai anak-anak, yang mana dia pasrah, dan fokus pada keinginannya dia untuk bisa lepaskan, pokok iso teriak2

Andi merespon dengan dewasa, dia memahami kekawatiran Yanto dan mencarikan solusi permainan yang lain.

Itulah gambaran dalam diri kita, kita bisa saja menentukan respon kita dalam menghadapi persoalan. Mau menjadi orang tua, dewasa, anak-anak, bisa saja, tinggal pintar2 kita saja menempatkan posisi. Dari cerita diatas juga kita bisa melihat respon mana yang cocok ketika lawan bicara kita sebagai orang tua.

Rumusnya

  1. Orang tua – respon dengan anak/dewasa
  2. Dewasa – respon dengan dewasa/orang tua/anak-anak
  3. Anak-anak – respon dengan orang tua/dewasa

Bermanfaat juga ketika saya menangani komplain dari klien. Ketika klien komplain, pada intinya mereka menjadi orang tua yang ingin menyampaikan problemnya. Langkah yang baik, dengarkan saja dulu, lalu bahas solusi bersamanya bagaimana. Awal dulu saya juga kesusahan dalam menempatkan posisi, pernah sekali waktu saya juga jadi orang tua, yang akhirnya jadi perang mulut di telepon. Menghabiskan energi iya, ada solusi tidak ada. ZONK! Jadinya, rugi, balikan waktu 45 menit ku tadi, waktu pembicaraan di telepon yang tidak melegakan.

Selamat mencoba kawan

Salam pertumbuhan

Handy Priyanto

Imarks

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Go Top